Toxic positivity itu nyata! Begini cara menghilangkannya
Toxic positivity adalah keyakinan bahwa terlepas dari seberapa parah atau buruk sebuah situasi, seseorang harus selalu menjaga pola pikir positif. Konsep ini menolak semua emosi lain yang tidak termasuk dalam lingkup optimisme sehingga mendorong seseorang untuk membayangkan kepositifan palsu yang jauh dari kenyataan di benaknya. Akibatnya, itu mengarah pada emosi yang tertekan dan ketidakmampuan untuk mengatasi rasa sakit.
Contoh-contoh toxic positivity dalam kehidupan sehari-hari
Mengabaikan situasi negatif dengan mengatakan "segala sesuatu terjadi karena suatu alasan", merupakan contoh klasik. Menyingkirkan kesedihan atau rasa kehilangan seseorang dengan mengucapkan "situasinya bisa saja lebih buruk" adalah cara lain. Penggunaan penyataan-pernyataan seperti "lihat sisi positifnya", "tetap positif", "tidak seburuk kelihatannya", atau "bahagia itu pilihan" untuk beralih dari situasi negatif sudah menjadi hal biasa.
Inilah mengapa toxic positivity berpotensi berbahaya
Toxic positivity dapat membutakan kita dari menghadapi bahaya yang sebenarnya. Tinjauan terhadap 29 penelitian tentang kekerasan dalam rumah tangga mengungkapkan bahwa optimisme, perilaku permisif, dan harapan dapat menyamarkan keparahannya dan mendorong orang untuk tetap berada dalam hubungan yang penuh kekerasan. Selain itu, pola pikir tersebut dapat memicu masalah komunikasi karena kita tidak akan tahu bagaimana cara menerima situasi negatif. Toxic positivity dapat membuat pikiran kita mengabaikan tantangan.
Strategi 1: Jangan sangkal atau melarikan diri dari emosi yang sebenarnya
Untuk mengatasi toxic positivity, kita perlu menerima semua emosi yang kita rasakan dalam sebuah situasi. Ketahuilah bahwa merasakan stres, ketegangan, kecemasan, atau ketakutan dalam keadaan negatif itu manusiawi dan kita tidak perlu lari darinya. Bertahanlah selama beberapa lama lalu alihkan fokus untuk mengambil tindakan demi memperbaiki situasi.
Strategi 2: Bersedih itu tidak dilarang
Jika tidak mempertanyakan kebahagiaan, mengapa kita melakukan hal yang sama dengan dorongan yang kuat untuk menangis? Mengapa menangis dilihat sebagai tanda kelemahan dan bukan ekspresi? Semua emosi harus dialami secara mendalam. Untuk melakukan itu, seseorang harus mengembangkan sikap bahwa bersedih itu tidak dilarang. Bersikaplah realistis daripada mengabaikan masalah dengan kutipan-kutipan positif dari internet.
Strategi 3: Hindari mencari respons positif untuk setiap situasi
Harus diakui, kita semua selalu mencari tanggapan positif untuk setiap situasi negatif yang kita hadapi. Walaupun tidak ada salahnya, itu adalah pelarian sementara. Akibatnya, kita mendapati diri berada dalam lingkaran rasa sakit dan pelipur lara yang terus menghampiri. Sebagai gantinya fokuslah untuk mempelajari cara menghadapi situasi tersebut sehingga kita dapat menghilangkan akar penyebabnya.
Strategi 4: Jangan selalu mencari hikmahnya
Jangan selalu berusaha mencari hikmah dari sesuatu karena terkadang, sebenarnya tidak ada hikmah di dalamnya. Misalnya, tidak ada hikmahnya jika hewan peliharaan meninggal dunia atau Anda kehilangan pekerjaan. Proseslah perasaan Anda terhadap sebuah situasi karena penyangkalan akan mencegah penyembuhan. Hikmah tidak membuat situasi yang parah menjadi lebih baik, tetapi dapat menarik kita dari upaya untuk memecahkan masalah.
Strategi 5: Hindari perilaku toxic positivity yang dipaksakan
Perubahan dimulai dari diri sendiri, jadi sangat penting untuk mulai mengenali dan menghilangkan toxic positivity yang dipaksakan oleh diri sendiri. Untuk melakukan itu, berhentilah menganggap emosi negatif sebagai sesuatu yang tidak normal dan sesuatu yang seharusnya tidak ada dalam hidup kita. Rasakan setiap emosi daripada terus berusaha melarikan diri darinya. Kita juga bisa mencari dukungan dari terapis untuk memproses hal-hal negatif.