Mengeksplorasi pakaian tradisional 'gho' dan 'kira' Bhutan
Bhutan, sebuah kerajaan kecil yang terletak di pegunungan Himalaya, terkenal dengan budaya yang semarak dan pakaian tradisionalnya. Pakaian nasional bagi pria adalah gho, sedangkan wanita mengenakan kira. Pakaian ini bukan sekadar pakaian tetapi simbol identitas dan warisan Bhutan. Artikel ini membahas pesona estetis dari ansambel-ansambel ini, menawarkan sekilas makna budaya mereka.
Sejarah di balik Gho dan Kira
Gho dan kira lebih dari sekadar pakaian; mereka adalah perwujudan sejarah Bhutan. Diperkenalkan pada abad ke-17 untuk menciptakan identitas khas Bhutan, pakaian ini telah menjadi keharusan dalam kehidupan publik. Gho berbentuk jubah yang diangkat hingga selutut, dipadukan dengan kaus kaki setinggi lutut, sedangkan kira adalah gaun sepanjang mata kaki yang dilengkapi dengan jaket luar ringan bernama Tego.
Memahami pakaian Bhutan
Desain gho dan kira yang rumit mencerminkan variasi dan peristiwa regional. Gho diikat di pinggang dengan ikat pinggang yang disebut kera, menciptakan ruang seperti kantong di atasnya yang dikenal sebagai tosham. Demikian pula kira, disatukan dengan bros bernama koma dengan pola cerah yang menandakan status perkawinan atau kedudukan sosial. Pakaian ini memadukan kenyamanan dengan keanggunan, menampilkan kekayaan seni tekstil Bhutan.
Mengenakan Gho dan Kira di masa kini
Bagi pengunjung Bhutan yang ingin menghormati adat istiadat setempat dengan mengenakan gho atau kira, penting untuk menghargai pentingnya budaya mereka. Kita harus memastikan bahwa kedua pakaian tersebut dikenakan dengan hormat dan benar: gho setinggi lutut dengan kaus kaki menutupi betis, kira dililitkan pas di tubuh. Berinteraksi dengan penjahit atau pemandu lokal dapat memberikan pengalaman otentik sekaligus menghormati aspek budaya Bhutan.
Melestarikan tradisi melalui mode
Di zaman modern di mana mode cepat (fast fashion) mendominasi, pendekatan Bhutan menonjol karena fokusnya pada keberlanjutan. Kain yang digunakan untuk gho dan kira sering kali ditenun dengan tangan dari serat alami seperti sutra atau katun. Dengan memilih pakaian buatan lokal dibandingkan pakaian alternatif yang diproduksi secara massal, kita mendukung komunitas pengrajin sekaligus mempromosikan praktik ramah lingkungan—sebuah pelajaran tentang mode berkelanjutan dari Negeri Naga Petir.