'Ma Rainey's Black Bottom': Kado yang menembus ruang dan waktu
Uh one... Uh two... Uh you know what to do... Poster Ma Rainey's Black Bottom yang bergaya vintage sudah cukup untuk memancing perhatian terhadap film ini. Produksi Netflix tersebut tahu betul cara menggugah emosi penontonnya dengan menampilkan gambar Chadwick Boseman, diiringi gairah musik Viola Davis. Kami mengharapkan tidak lain dari sebuah mahakarya.
Representasi bias rasial yang tak lekang waktu bertempat di Chicago tahun 1920-an
Film ini membawa Anda ke Chicago tahun 1920-an, kemudian Anda melihat trio pria bertopi Fedora yang berjalan menenteng alat musik mereka, sambil menjaga jarak dari "The Whites" (orang-orang kulit putih) namun seketika bersikap santai saat berada dalam studio. Mereka sampai tepat waktu, lalu mengatur tempat untuk sang sensasi dari Selatan Ma Rainey, yang akan tiba kapan pun dia mau. Mereka juga menunggu peniup horn Levee.
Rainey dan egonya yang tak tertandingi
Sekarang, beralih ke Rainey, yang dengan tepat disebut oleh manajernya Irvin sebagai "Mother of Blues" dan bukan "Queen" yang lebih rendah. Dia menatap para orang kulit putih yang bersikap merendahkan seolah mereka sampah dan mondar-mandir di studio seakan dirinya memberi bantuan pada perusahaan rekaman dengan kehadirannya. Dia punya banyak permintaan, bukan dengan uang, melainkan perhatian.
Penggambaran Ma Rainey oleh Davis sangat seksi
Perhatian tersebut sangat layak diberikan sebab Davis menggambarkan ego Rainey yang setinggi gunung dengan fantastis. Menyaksikannya di balik peran itu benar-benar mengasyikkan. Untuk memancarkan sensualitas seperti itu dari penampilan yang menonjol dan membuat gentar terbilang berat, tapi Davis tak hanya melakukan lip-sync (sinkronisasi bibir) melainkan juga sinkronisasi pinggul sementara sebagian besar lagu Rainey dinyanyikan oleh Maxayn Lewis. Lagu tema oleh komposer jazz dan pemain saksofon Branford Marsalis akan menggoda Anda.
Film ini bertumpu pada pergeseran preferensi budaya
Tapi zaman sudah berubah! Classic Blues, genre yang ditemukan Rainey dan identik dengannya, menghadapi rintangan di Amerika Utara tempat swing jazz mulai populer. Orang-orang tidak lagi ingin berpacu dalam melodi. Mereka ingin berdansa tanpa peduli lagunya tentang apa. Perang ideologi ini menggerogoti Rainey dari dalam selagi dirinya mengambil sikap tak tergoyahkan.
Penampilan film terakhir Chadwick: Kita sambut Levee alias Boseman
Di sinilah sang pria yang akan tutup usia menampakkan dirinya. Orang yang punya nyali untuk terlambat dalam sesi yang dibintangi Rainey ialah Levee, diperankan oleh mendiang aktor veteran Boseman. Levee merupakan mimpi buruk bagi Rainey. Seorang musisi dengan kulit berwarna, Levee memiliki bakat langka menulis musik dan menolak menuruti Rainey karena jati dirinya adalah musik dansa.
Levee seolah badai, menghancurkan stereotip dalam sekejap
Dan, Levee menaruh pandang pada tempat yang salah. Betapa pun teman band seniornya memperingati untuk tidak mendekati teman Rainey, Dussie Mae, Levee tidak pernah menghiraukan. Dia seolah badai yang menerjang rekan-rekan anggota band yang sekadar ingin mendapat upah dan tampil bagus dalam tiap sesi karena kenekatannya terpatri dalam ketidakberuntungan serta rasa haus akan keluwesan bermusik.
Sesuai yang digembar-gemborkan; penilaian kami: 5/5
Seperti burung terluka yang terbang sebelum menemui ajal, impresi yang dihadirkan Boseman sangat menonjol. Anda akan tersenyum jahat dengan akal bulusnya. Anda mengernyitkan dahi pada kenekatannya, namun kaki tangan Anda gemetar syok ketika dia bercerita bagaimana dirinya belajar memainkan "White Man". Sebagaimana dikatakan Davis, Boseman benar-benar berjuang keras memainkan peran ini. Mahakarya ini mendapat 5/5 paripurna.