Membongkar Mitos Terkait Geisha Di Masyarakat
Kyoto, ibu kota kuno Jepang, terkenal karena menghadirkan budaya Geisha yang unik. Distrik Gion yang bersejarah, yang menjadi landasan tradisi ini, sering kali diselimuti mitos yang menyesatkan para wisatawan. Memperbaiki kesalahpahaman ini sangat penting untuk benar-benar menghargai peran Geisha dan kekayaan warisan budaya yang mereka wakili, yang terus menjadi bagian yang dinamis dan integral dari lanskap Kyoto yang mempesona.
Geisha Bukanlah Pelacur
Mitos yang tersebar luas adalah bahwa Geisha adalah pelacur. Kenyataannya, Geisha adalah seniman ahli, terlatih dalam seni tradisional Jepang seperti tari dan musik. Mereka unggul dalam seni percakapan, yang bertujuan untuk menjamu tamu dengan kecanggihan dan kemahirannya dalam memahami budaya. Peran mereka bukan untuk memberikan layanan romantis atau seksual tetapi untuk menawarkan hiburan yang anggun dan tenang.
Pelatihannya Dimulai Saat Dewasa
Ada kesalahpahaman di masyarakat yang menganggap bahwa pelatihan Geisha dimulai sejak masa kanak-kanak. Faktanya, peserta pelatihan, yang dikenal sebagai Maiko, biasanya memulai magang kala berusia 15 tahun atau lebih. Pemilihan usia ini memastikan bahwa mereka memilih jalur budaya ini secara sukarela. Mereka berkomitmen untuk mempelajari seni tradisional dan etika sosial, yang penting bagi profesi Geisha, pada usia di mana mereka dapat sepenuhnya memahami dedikasi yang dibutuhkan.
Ternyata Ada Juga Geisha Laki-Laki
Banyak yang membayangkan Geisha sebagai wanita yang mengenakan kimono, namun Geisha pria, atau Taikomochi dan Houkan, juga menghiasi tradisi ini. Para pria ini, yang ahli dalam seni dan percakapan seperti rekan-rekan perempuan mereka, menjamu tamu dengan keanggunan yang sama. Meskipun mereka jarang terlihat dalam budaya Geisha saat ini, kehadiran mereka menjaga warisan profesi yang beragam dan terus berkontribusi terhadap kekayaan budayanya.
Bukan Tradisi Yang Terancam Punah
Bertentangan dengan keyakinan bahwa budaya Geisha mulai memudar, budaya Geisha tumbuh subur dengan komunitas yang berdedikasi sebagai intinya. Meskipun jumlahnya telah menurun sejak puncaknya pada tahun 1920-an, tradisi ini masih jauh dari fase terancam punah. Generasi baru perempuan muda masih tertarik pada panggilan budaya ini dan secara aktif bergabung serta memastikan kelanjutan praktik-praktik kuno ini dalam warisan budaya Kyoto yang dinamis.