Buku Yang Harus Dibaca Oleh Semua Orang Saat Berusia 30-an
Di usia 30-an, kita sering mempertanyakan esensi keberadaan dan absurditas kehidupan. Periode ini, yang penuh dengan keingintahuan eksistensial, adalah waktu yang tepat untuk mempelajari fiksi absurd. Sastra absurd, dengan fokusnya pada ketidakbermaknaan yang melekat pada kehidupan dan pencarian kita akan nilai, mencerminkan krisis eksistensial yang banyak dialami selama dekade ini. Berikut adalah beberapa karya penting yang merangkum tema-tema ini.
'The Myth of Sisyphus' karya Albert Camus
The Myth of Sisyphus karya Albert Camus adalah esai filosofis yang sangat penting untuk memahami fiksi absurd. Camus menampilkan adegan mendorong batu ke atas bukit tak berujung yang dilakukan Sisyphus sebagai metafora atas absurditas kehidupan. Dia berpendapat bahwa menerima ketidakberartian ini dapat membawa pada kehidupan yang lebih penuh arti. Buku ini menjadi landasan dalam mengeksplorasi tema-tema eksistensialisme dan absurdisme yang selaras dengan kondisi manusia, sebagaimana tercermin dalam karya-karya absurd.
'Waiting for Godot' karya Samuel Beckett
Waiting for Godot karya Samuel Beckett adalah drama absurd yang klasik. Ini berpusat pada Vladimir dan Estragon, yang terlibat dalam penantian tanpa akhir dan sia-sia terhadap sosok bernama Godot. Penantiannya ini melambangkan pencarian makna manusia dalam kosmos yang tidak pernah peduli. Meskipun premisnya tampak gelap, narasinya mengandung unsur humor dan resonansi emosional yang mendalam.
'The Stranger' karya Albert Camus
Karya agung lain dari Albert Camus, The Stranger, memperkenalkan kita pada Meursault, seorang warga Aljazair Prancis unik yang melakukan tindakan kekerasan yang tidak dapat dijelaskan. Novel ini mengeksplorasi tema-tema eksistensialisme dan absurdisme ketika Meursault menghadapi tuntutan masyarakat akan makna yang menurutnya tidak ada. Keterpisahan emosional dan penolakannya untuk mematuhi norma-norma sosial menantang perspektif pembaca mengenai moralitas dan keadilan.
'Rosencrantz and Guildenstern Are Dead' karya Tom Stoppard
Dalam Rosencrantz and Guildenstern Are Dead, Tom Stoppard menghadirkan dua karakter kecil dari "Hamlet" ke dalam kisahnya. Mereka mengukir kisah mereka sendiri, namun dengan pemahaman atau pengaruh yang terbatas terhadap nasib mereka. Kisah drama ini dengan cerdik mengkaji ketegangan antara kehendak bebas dan determinisme melalui lensa absurdisme, menawarkan komentar mendalam tentang keberadaan manusia dengan kecerdasan yang tajam dan dialog yang menarik.