Karbon biru di Asia Tenggara semakin berkurang! Ini artinya
Asia Tenggara memiliki cadangan karbon biru yang signifikan, yang tersimpan di dalam sistem laut yang luas. Namun, aktivitas manusia yang merajalela telah menyebabkan penipisan sumber daya vital ini secara substansial. Habitat bakau dan lamun, yang merupakan ekosistem karbon biru utama di wilayah ini, telah mengalami kerusakan terutama karena kurangnya upaya pelestarian. Mari kita pahami bagaimana kemampuan kehidupan laut yang kaya untuk menyimpan karbon secara bertahap menipis.
Apa itu karbon biru?
Ekosistem lautan, yang meliputi fitoplankton, sabuk bakau, dan lamun, memiliki kemampuan untuk menyerap dan menyimpan karbon dioksida dalam jumlah besar dari atmosfer, sehingga memainkan peran penting dalam mitigasi perubahan iklim. Ekosistem yang memberikan berbagai manfaat ekologis ini dapat menyimpan karbon hingga lima kali lebih banyak daripada hutan tropis. Namun demikian, potensi alam yang sangat besar ini dengan cepat berkurang karena penipisan yang cepat.
Asia Tenggara adalah salah satu waduk terbesar
Asia Tenggara memiliki salah satu cadangan karbon biru terbesar. Hutan bakau dan lamun merupakan ekosistem karbon biru yang paling dominan. Bakau, yang mirip dengan hutan pantai, tumbuh subur di perbatasan antara darat dan laut, sementara lamun adalah tanaman terendam yang tumbuh subur di perairan payau dan dangkal. Namun, aktivitas manusia seperti akuakultur menyebabkan berkurangnya potensi ini secara signifikan
Negara-negara dengan bagian maksimum
Indonesia memiliki lebih dari sepertiga hutan bakau di dunia, dan wilayah lain di Asia Pasifik seperti Papua Nugini dan Sunderbans di antara India dan Bangladesh juga memiliki hutan bakau yang luas. Banyak hutan bakau di Sumatera dan Jawa, Indonesia, dengan cepat diubah menjadi operasi tambak udang, dan ada juga konversi yang signifikan untuk budidaya kelapa sawit.
Apa yang menyebabkan penipisan hutan bakau?
Di berbagai daerah yang dilanda kemiskinan, bakau sering kali dipanen untuk dijadikan kayu bakar, sehingga memperparah penipisannya. Bahkan negara makmur seperti Singapura pun telah mengalami kehilangan hutan bakau yang signifikan dari waktu ke waktu karena reklamasi lahan untuk proyek urbanisasi. Selain itu, dampak perubahan iklim juga berkontribusi terhadap erosi habitat bakau yang terus berlanjut. Sangatlah penting untuk melindungi dan membina sistem kelautan agar potensinya tetap terjaga.
Situasi ini disoroti 13 tahun yang lalu
Panel Antarpemerintah PBB untuk Perubahan Iklim mengakui potensi karbon biru dalam mitigasi iklim sekitar 13 tahun yang lalu. Sejak saat itu, berbagai negara secara bertahap mengakui sumber daya yang berharga ini. Namun, masih ada kebutuhan yang signifikan untuk meningkatkan kesadaran tentang jenis kebijakan yang diperlukan untuk mendorong lebih banyak perlindungan dan restorasi ekosistem karbon biru.
Tindakan saat ini
International Blue Carbon Institute, Singapura mendesak negara-negara untuk memasukkan ekosistem karbon biru ke dalam Nationally Determined Contributions (NDC), sebuah rencana aksi iklim untuk mengurangi emisi. Lembaga ini menyelenggarakan lokakarya yang berfokus pada solusi kebijakan dan pendanaan untuk karbon biru, dengan dukungan dari pemerintah Inggris dan Sekretariat Perubahan Iklim Nasional Singapura untuk meningkatkan perlindungan dan restorasi ekosistem karbon biru secara global.